Tuesday, July 7, 2009

Pesantren dan Pendidikan Nasional

Tonggak reformasi 1998 yang menumbangkan rezim orde baru telah membuka lembaran baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Bersamaan dengan tuntutan reformasi di bidang politik, militer, hukum dan ekonomi, dunia pendidikan tidak luput dari tuntutan serupa. Puncak capaiannya adalah penetapan 20 persen anggaran pendidikan dari APBN dalam konstitusi.


Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/POO-VII 2008 mengharuskan negara memenuhi 20 angggaran pendidikan selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009. Maka pada UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009, anggaran pendidikan dipastikan 20 persen dari APBN dengan alokasi sebesar Rp. 207.413.531.763.000,00 dari total APBN sebesar Rp. 1.037.067.338.120.000,00.


Capaian ini menjadi gerbang emas bagi perbaikan tuntas pendidikan nasional. Komponen-komponennya yang sudah terlihat nyata muncul ke permukaan adalah pendidikan gratis, sertifikasi guru dan dosen, bantuan operasional sekolah, pembangunan madrasah bertaraf internasional, penyelenggaraan ujian nasional (UN) dengan satu standar yang berlaku secara nasional dan lain-lain. Pendidikan nasional telah kembali ke jalur yang benar menjadi pelopor kebangkitan nasional mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju di dunia.


Namun demikian, segudang masalah masih menghadang laju investasi sumber daya manusia ini. Penerapan UN tertantang oleh prasarana pendidikan yang belum merata kuantitas dan kualitasnya di seluruh Indonesia; jarak yang masih lebar antara sekolah/madrasah negeri dan swasta; keluaran sekolah/madrasah yang belum sepenuhnya nyambung dengan dunia kerja; pendidikan nilai-nilai luhur untuk pembangunan mental bangsa yang masih belum memadai; dan integrasi pendidikan agama ke dalam sistem pendidikan nasional yang masih kedodoran.


Pesantren sebagai institusi pendidikan agama dengan kontribusi besar menjaga keutuhan Indonesia sebagai bangsa dengan segala karakter, nilai dan perilaku luhurnya masih belum terintegrasi sebagaimana mestinya dalam arus utama reformasi pendidikan nasional. Padahal integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional harus dilakukan untuk menjamin pendidikan nasional tetap menjadi pusat rujukan perilaku anak bangsa terutama dalam menghadapi tantangan masa depan yang tidak kecil.


Paper ini berusaha untuk membangun argumen keniscayaan integrasi pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional.


Pesantren sebagai sistem: sejarah dan fakta sosiologis


Kalau saja Indonesia tidak dipaksa mengalami pahitnya penjajahan selama berabad-abad, niscaya universitas-universitas bonafidnya sekarang ini akan bernama Universitas Tebuireng (merujuk ke pesantren Tebuireng), Universitas Termas, Universitas Krapyak, Universitas Lasem, Universitas Gontor dan semisalnya. Demikian ungkap Alm. Prof. Dr. Nurcholis Madjid membandingkan sejarah dan fakta sosiologis Universitas Harvard di Amerika Serikat dengan keniscayaan sejarah pesantren sebagai sistem pendidikan di Indonesia.


KH. Sahal Mahfudz, Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memandang pesantren sebagai sebuah sistem yang memiliki sejarah yang menghunjam pada fakta sosiologis Bangsa Indonesia. Dalam sejarahnya, pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan, namun juga dakwah Islam, pusat penggemblengan para pejuang melawan penjajah dan cagar budaya yang membentengi umat dari distorsi nilai yang dibawa oleh para penjajah.


Meskipun pesantren memiliki akar sejarah panjang sejak zaman wali songo, Martin Van Bruinessen, seorang antropolog berkebangsaan Belanda yang mengajar dan meneliti Islam dan pesantren di Indonesia selama 9 tahun, menyebut tahun 1724 sebagai awal kemunculan pesantren sebagai sebuah lembaga dalam pengertiannya yang seperti dipahami sekarang. Pesantren tersebut adalah pesantren Tegalsari di Ponorogo. Sekitar seabad kemudian, tahun 1819, melalui survei Belanda, lembaga serupa ditemukan sudah banyak menyebar di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun, dan Ponorogo.


Pesantren-pesantren ini secara sosiologis menjadi simpul-simpul masyarakat yang memegang peran sebagai pusat pendidikan, penjaga budaya luhur, advokasi kepentingan masyarakat sekitar dan pusat latihan spiritual. Kiai yang menjadi salah satu dari tiga pilar pesantren --selain santri dan masjid-- menjadi muara bagi segala urusan masyarakat yang berdimensi duniawi (soal ekonomi, sosial, politik dan seterusnya) dan ukhrawi (soal hukum agama, nasehat spiritual, amal ibadah, ritus-ritus agama dan seterusnya).


Pada masa pergerakan merebut dan mempertahan kemerdekaan Indonesia, pesantren menjadi pusat penggemblengan para pejuang. Terdesak oleh posisi pemerintah penjajah di perkotaan, pesantren biasanya minggir berposisi di pedesaan. Para kiai menjadi ikon perjuangan yang dicatat abadi dalam lembaran sejarah Indonesia. Resolusi jihad yang dikeluarkan Rais Am PBNU, Alm. KH. Hasyim Asy’ari menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo untuk berjihad melawan pasukan Belanda pada Nopember 1945 yang kemudian dikenang sebagai hari pahlawan.


Di tengah warisan cara pandang penjajah yang membagi pendidikan secara dikotomistik dan dilembagakan oleh rezim-rezim yang pernah berkuasa di Indonesia, pesantren menjadi sub sistem yang independen dari sistem pendidikan nasional. Pesantren menjadi pilihan masyarakat (terutama di pedesaan) sebagai tempat mendidik putra-putri mereka dengan keyakinan apa yang didapat dari pesantren bukan sekedar ilmu tetapi –lebih dari itu—akhlak yang mulia.


Pendidikan pesantren: data kuantitatif dan kontribusi kualitatif


Dalam perkembangannya, pesantren bukan hanya sekedar fenomena Jawa, tetapi fenomena Nusantara. Sebutlah daerah mana saja di Indonesia ini, maka anda akan temukan pesantren ada di sana. Demikian juga, pesantren tidak lagi identik dengan lembaga pendidikan berbasis masyarakat agraris di pedesaan tetapi telah merambah basis-basis masyarakat urban di perkotaan.


Menurut data Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pesantren Departemen Agama Republik Indonesia, pada tahun 2007-2008, ada 21.521 pondok pesantren yang tersebar di 33 provinsi se Indonesia dengan 3.818.469 santri, 54.1 persen laki-laki dan 45,9 persen perempuan. Sedangkan madrasah diniyah (baik yang berlokasi di pesantren atau di luar pesantren) pada tahun yang sama berjumlah 37.102 madrasah dengan 3.557.713 siswa. Ini belum termasuk madrasah non diniyah (ibtida’yah, tsanawiyah, aliyah), baik yang negeri maupun swasta.


Dengan jumlah pesantren yang sangat banyak ini, tak pelak Indonesia menjadi negara dengan jumlah lembaga pendidikan agama yang terbanyak di dunia. Dalam wawancara dengan Koran Republika, 6 Mei 2007, Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menegaskan bahwa pesantren dan madrasah adalah kebanggaan dan kekayaan Indonesia di kalangan negara-negara muslim di dunia. Menurut Prof. Azra, tidak ada negara-negara muslim yang memiliki lembaga pendidikan agama (pesantren, madrasah, perguruan tinggi) sebanyak di Indonesia.


Pesantren menjadi kekayaan Indonesia bukan hanya dari sisi jumlahnya yang besar, namun juga kontribusinya yang positif dalam perjalanan sejarah bangsa. Secara kuantitatif, jelas bahwa tanpa kehadiran pesantren yang sebagian besar –kalau bukan seluruhnya—eksis dengan biaya bukan dari APBN, negara tidak bakal mampu memberikan pengajaran (dasar, menengah sampai dengan perguruan tinggi) bagi seluruh siswa/mahasiswa aktif yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari sisi ini saja, pesantren telah ikut andil nyata dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan UUD 1945.


Secara kualitatif, pesantren telah dan terus menjadi cagar budaya yang menjadi pertahanan identitas bangsa dari masa ke masa. Penjajah datang tidak hanya membawa bala tentara tetapi juga nilai, pandangan hidup dan perilaku. Namun ketika mereka hengkang dari bumi pertiwi setelah berabad-abad menjajah, Indonesia sebagai bangsa masih mampu tegak berdiri dengan identitas bawaannya. Bahasa bisa menjadi contoh kecil. Belanda yang menjajah selama tiga setengah abad, bahkan tidak meninggalkan lapisan masyarakat Indonesia yang hingga kini berbahasa Belanda misalnya. Kontras betul dengan negara-negara di Afrika utara misalnya yang pernah dijajah oleh Perancis. Di kawasan ini, Bahasa Perancis masih dominan dipakai oleh masyarakat setempat.


Pesantren juga menyumbang melahirkan tokoh-tokoh ulama-kebangsaan yang ikut menentukan arah bangsa dalam tonggak-tonggak sejarahnya. KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia ke-4, adalah tokoh yang lahir dan besar dalam didikan pesantren. Dua ketua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah : KH. Hasyim Muzadi dan Prof. Dr. M. Din Syamsuddin adalah juga alumni pesantren. Ini adalah sekedar contoh dari deretan panjang tokoh bangsa yang pendidikannya dimulai dari pesantren.


Antara keunggulan pendidikan pesantren dan kondisi riil pendidikan nasional


Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan khas Indonesia. Fakta sejarah dan sosial –sebagaimana sekelumit dipaparkan di atas—mendukungnya.


Pesantren bukan sekedar lembaga pengajaran, namun lembaga pendidikan. Bahkan sisi pendidikan menjadi keunggulan komparatif pesantren dibandingkan dengan sekolah atau madrasah di luar pesantren. Nilai-nilai bukan sekedar untuk diketahui namun diamalkan. Figur kiai/ajengan/tuan guru sebagai salah satu pilar utama pesantren adalah sosok panutan dimana nilai-nilai sudah menginternalisasi secara baik. Mengajar dengan keteladanan adalah keunggulan pendidikan pesantren.


Aspek amaliah inilah yang kemudian menjadikan pesantren sebagai tempat yang efektif untuk penanaman nilai-nilai dan kualitas-kualitas keimanan, amal saleh, penghambaan total kepada sang pencipta, kemandirian, kepedulian kepada orang lain, menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua, kesederhanaan, kejujuran, optimisme, kemauan untuk berbenah, sikap rendah hati, mencintai ilmu pengetahuan, sopan santun dan seterusnya. Akhlak mulia, di pesantren, hidup sebagai amal perbuatan sehari-hari.


Dengan mengutip pendapat Imam Gazali dan Ibnu Khaldun, puncak keberhasilan belajar ilmu-ilmu, bukan diukur oleh seberapa banyak tumpukan pengetahuan yang dikuasai, namun seberapa paripurna sang pelajar, siswa atau mahasiswa, berperilaku sesuai dengan tuntutan pengetahuan tersebut. Hal semacam inilah yang menjadi keunggulan komparatif pendidikan pesantren. Sesuatu yang hampir-hampir hilang dari sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah kita.


Akibatnya, pembangunan mental bangsa berjalan terseok-seok. Mental koruptif menjalar di hampir semua aspek kehidupan bangsa. Berburu kekuasaan dengan segala cara menjadi sebuah kewajaran. Mementingkan kepentingan diri dan golongan dengan mengorbankan kepentingan orang lain menjadi fenomena yang kasat mata. Kepandaian umbar janji dan omong kosong tanpa pembuktian dalam perilaku menjadi hal biasa. Satu kata satu perbuatan menjadi barang langka di negeri kita. Jika ini situasinya, hendak kemana pendidikan nasional kita?.


Aspek-aspek kognitif menjadi segala-galanya mengalahkan aspek psikomotorik. Anak didik diukur keberhasilannya dengan seberapa tinggi pengetahuannya dengan tidak terlalu peduli akan seberapa luhur budi pekertinya. Sementara serbuan bahasa asing, budaya asing, banjir bandang globalisasi, serangan pasar bebas dan seterusnya menjebol pertahanan jati diri kita sebagai bangsa yang sebenarnya diwarisi identitas dengan acuan perilaku yang mulia oleh para pendahulu kita. Akankah kita menjadi bangsa materialis yang kehilangan jati diri?


Integrasi Pesantren ke dalam sistem pendidikan nasional: sebuah keniscayaan


Jargon: “mempertahankan hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik” menjadi relevan dalam konteks ini.


Artinya, warisan berupa pendidikan pesantren yang memiliki sejarah panjang dalam mempertahankan eksistensi bangsa kita harus terus terawat dengan membuka peluang mengadopsi sistem baru yang lebih baik. Perkawinan dua tradisi inilah yang bakal menjamin masa depan yang lebih baik buat Bangsa Indonesia.


Sejauh ini pesantren memang telah masuk menjadi pehatian negara melalui Direktorat Diniyah dan Pondok Pesantren Departeman Agama RI, satu direktorat yang baru muncul sejak beberapa tahun belakangan, namun yang diusulkan oleh paper ini adalah integrasi paripurna pendidikan pesantren dengan segala keunggulannya ke dalam sistem pendidikan nasional kita.


Boarding-boarding school dan sekolah-sekolah unggulan berasrama memang telah muncul di beberapa tempat. Anak didik dengan demikian bisa fokus 24 jam belajar, berinteraksi, menginternalisasi nilai-nilai dan berkreasi mengeluarkan segenap potensi diri dalam karya-karya yang bagus. Model semacam ini bisa menjadi acuan untuk disebar lebih banyak di lebih banyak tempat di negeri kita.


Pada sisi lain, pesantren yang karena respon terhadap perkembangan sosial di sekelilingnya mengalami disorientasi mesti mendapat perhatian yang lebih serius dari negara. Ide integrasi ini misalnya –sebagaimana digagas oleh wakil presiden belum lama ini—bisa dimulai dengan sertifikasi pondok pesantren, agar anggaran pendidikan 20 persen dari APBN bisa mengalir ke pesantren untuk memperbaiki kualitasnya dan menaikkan kesejahteraan para pengelolanya.


Pendidikan pesantren kemudian kembali akur dengan lingkungan sosialnya. Para pengelolanya betah merawat pesantren, tidak tergoda misalnya untuk latah ikut terjun ke dunia politik demi menjamin eksistensi pesantren secara material. Transformasi semacam inilah yang menjadi agenda awal dari integrasi dimaksud.


Dengan demikian, keseimbangan antara penguasaan pengetahuan dan penanaman nilai-nilai luhur bisa berjalan seimbang. Bangsa kita akan menjadi bangsa besar manakala keberhasilannya paripurna, bukan hanya berhasil di domain material, pengatahuan, namun juga berhasil di domain amal saleh dan penananam nilai-nilai. Mustahil rasanya ada reformasi sungguh-sungguh tanpa dimulai dari reformasi mental bangsa.


Sunday, April 5, 2009

Pesantren dan Internet

Berkali-kali Menkominfo, Muhammad Nuh, mengajak pesantren untuk terlibat lebih aktif di dunia teknologii informasi dan komunikasi. Dunia yang terkoneksi oleh jaringan internet ini memang telah memaksakan satu realitas baru yang mau tidak mau harus dihadapi. Kalau pesantren tidak mau keluar dari zamannya, ia memang harus masuk jaringan.

Saya nukilkan berita berikut dari NU Online:

Menkominfo Minta Pesantren Perluas Akses Informasi Internet
Ahad, 5 April 2009 20:01
Lebak Banten, NU Online

Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh dalam kunjungannya ke pesantren Daar El Azhar, Kamis (3/4) meminta agar kalangan pesantren perluas akses informasi, khususnya dengan perkembangan internet yang memungkinkan santri memperoleh pengetahuan secara luas untuk pengembangan pribadi dan sosial.

“Seperti di Ponpes Daar El Azhar yang sekarang memiliki website, itu sangat penting untuk sebuah informasi kepada masyarakat luas. Bahkan dengan jaringan internet yang dimiliki ponpes ini, maka informasi tentang pengetahuan umum lain dapat diketahui pula oleh warga ponpes,” katanya.

Kehadiran Menkominfo adalah dalam rangka sosialisasi Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada kesempatan tersebut, juga diresmikan salah satu gedung fasilitas pesantren.

Usai mensosialisasikan undang-undang yang dimaksud, Muhammad Nuh memberikan apresiasi terhadap seluruh pengelola ponpes di Lebak, yang dinilainya telah membantu program peningkatan pendidikan dan program peningkatan keimanan terhadap anak usia sekolah.

“Harus kita akui bahwa keberadaan ponpes sangat dibutuhkan di negeri tercinta ini. Keberadaannya tidak hanya mendidik santri atau masyarakat di bidang keagamaannya, tetapi juga di bidang pendidikan umum,” terangnya.

Dikatakannya, Sejak awal pertumbuhannya pondok pesantren memiliki fungsi, pertama menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, kedua dakwah menyebarkan agama Islam, dan ketiga sebagai benteng pertahanan umat dalam bidang akidah dan akhlak. (zen)

Monday, May 26, 2008

Jenakanya Dunia Santri

Dalam tulisan berjudul "Robohnya Dunia Santri", pengamat politik Fachry Ali membidik dengan sangat tepat salah satu ciri khas dunia santri, yaitu kejenakaan. Inilah yang mulai menghilang bersamaan dengan sikap qanaah dan mandiri yang tergerus oleh gerak vertikal dunia santri yang tergerek oleh muncul parta-partai berbasis santri yang muncul pasca reformasi 1998.

Baca tulisannya di sini

Friday, April 25, 2008

Pesantren, Kebanggaan Indonesia

Dalam wawancara dengan Koran Republika, 06 Me1 2007, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyebut perguruan tinggi Islam, pesantren dan madrasah adalah kebanggaan dan kekayaan Indonesia di tengah dunia Islam. Banyak kalangan di luar negeri mengapresiasi kekayaan muslim Indonesia ini.

Mengutip Prof. Azra:

"Mereka sangat mengapresiasi, karena mereka tidak punya pengalaman dengan organisasi besar semacam NU dan Muhammadiyah. Mereka tidak punya pengalaman, misalnya dengan pesantren dan madrasah. Di Timur Tengah tidak ada madrasah. Yang ada sekolah umum, karena pakai Bahasa Arab, ya madrasah. Itu madrasah, sekolah umum. Itu kekayaan Islam Indonesia yang jarang kita sendiri menyadari.

Tidak ada di dunia ini, di Timur Tengah mana pun, yang ada jaringan perguruan tinggi Islam negeri maupun swasta sebanyak di Indonesia. Saya sudah keliling Timur Tengah, tidak ada. Bayangkan, perguruan tinggi Islam negeri saja (di Indonesia) ada enam UIN, 15 IAIN, ada 30 STAIN. Itu yang kurang kita sadari dan kadang-kadang sebagian kita tidak merasa bersyukur dengan itu. Selalu saja merasa terkebelakang, tertinggal dibandingkan dengan kaum Muslimin yang lain. Padahal, sesungguhnya, orang Islam di Indonesia boleh bangga. Kebanggaan itulah yang perlu kita tanamkan, tanpa harus takabur, tanpa harus sombong.".

Saturday, April 19, 2008

Masih Tentang Pesantren

Howard M. Federspiel, dalam : The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, menulis secara padat tentang pesantren, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Filipina dan Thailand.

Tulisan ini merunut secara sekilas sejarah pesantren, ciri khasnya dan peran penting yang dimainkan pada masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ujungnya, tulisan ini melihat bahwa karena desakan lembaga pendidikan Nasional, masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah negeri ketimbang di Pesantren; sesuatu --yang menurut penulisnya-- membuat jumlah pesantren berkurang.

Benarkah demikian?.

Lebih jelas, baca disini.

Thursday, April 17, 2008

Sejarah Pesantren

Kapan persisnya pesantren pertama dalam sejarah Indonesia berdiri? Tidak ada jawaban pasti dan meyakinkan.

Mengutip Martin Van Bruinessen, peneliti pesantren dan kitab-kitab kuning berkebangsaan Belanda, Koran Republika menurunkan tulisan berjudul: Geneologi Sejarah Pesantren.

Dalam tulisan ini, disebutkan bahwa pada tahun 1724, pesantren pertama di Tegalsari Ponorogo berdiri. Ini yang mendasari Martin untuk mengatakan bahwa sebelum abad ke-18 belum ada lembaga di nusantara yang layak disebut pesantren.

Lebih rinci, baca disini

Monday, April 14, 2008

Pesantren di Wikipedia

Sekilas tentang pesantren di ensiklopedi Wikipedia. Terlalu ringkas. Tapi cukup membantu pembaca Inggris untuk mengenal dunia pesantren. Baca disini.